Lompat ke isi utama

Berita

MENYOAL PIDANA PEMILU SEBAGAI ULTIMUM REMEDIUM

OLEH: DIYAR GINANJAR ANDIRAHARJA*

            Dalam laman  salah satu berita onilne pada rubrik olahraga terdapat meme lucu pemain sepakbola Alvaro Morata asal klub Atletico Madrid  yang diberi kartu merah padahal baru bermain 8 menit. Pasalnya yang bersangkutan  dikartu merah adalah karena ribut dengan pemain lawan dan selanjutnya tidak mengindahkan instruksi wasit, walhasil kartu kuning kedua membuatnya mesti meninggalkan lapangan.[1]

Layaknya laga sepak bola di stadion, kita paham bahwa mesti setidaknya ada 11 pemain tiap tim yang bertanding dan diawasi oleh seorang wasit dalam durasi pertandingan 2x45 menit. Jika ada dugaan pelanggaran oleh pemain, maka sang wasit akan memberikan peringatan pada pemain, dan jika peringatan itu diabaikan oleh pemain maka wasit dapat memberikan hukuman berupa kartu kuning, dan jika pelanggaran berat pemain diganjar kartu merah yang dapat menyebabkan pemain mesti ke ruang ganti lebih awal. Bahkan wasit berwenang memberikan hukuman penalti dan menganulir suatu gol ke gawang. Cukup dengan peluit wasit, maka pertandingan dapat dimulai atau mesti dihentikan sementara. Begitu saktinya wasit dengan peluit serta dua kartunya itu. Jika ada keberatan atas putusan wasit, klub dapat mengajukan keberatan ke pengadilan. Pada intinya tak semua pelanggaran di lapangan hijau mesti diselesaikan oleh majelis hakim di meja hijau. Cukup oleh sang wasit.

            Analogi dengan pertandingan sepak bola, Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 pun memiki unsur-unsur yang mirip, misalnya terdiri atas pemain yakni peserta Pemilu yang terdiri dari Pasangan Calon, Partai Politik, dan anggota DPD. Unsur wasit diwakili oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu)  sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu. Kemudian KPU (Komisi Pemilihan Umum) kita dapat analogikan dengan Panitia Pelaksana pertandingan. Senjata wasit Pemilu ini bukanlah peluit dan kartu, melainkan catatan kepengawasan dan produk hukum berupa putusan. Praktis tidak semua pelanggaran Pemilu yang terjadi mesti semua naik ke meja hijau pengadilan. Bawaslu dapat memberikan rasa keadilan bagi peserta Pemilu dan masyarakat melalui tugas, wewenang dan kewajibannya.[2]

Layaknya pelanggaran di persepakbolaan begitu juga wajar terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan Pemilu. Ada pun beberapa dugaan pelanggaran yang menjadi perhatian masyarakat di Kota Cimahi diantaranya adalah politik transaksional atau dengan bahasa lain politik uang[3], dan penggunaan fasilitas negara untuk kampanye. Politik uang dapat didefinisikan sebagai aktivitas Partai, kandidat, tim sukses, memberikan/menjanjikan uang, atau barang kepada pemilih atau penyelenggara pemilihan dalam rangka pemenangan  Pemilu. Dalam kajian ICW (Indonesian Corruption Watch) politik uang salah satu bagian dari praktik  korupsi pemilu. Korupsi pemilu menurut Open Society Justice Initiative yakni praktek pendanaan kampanye, baik penerimaan maupun pengeluaran yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters. Unsur yang juga masuk dalam korupsi pemilu yaitu manipulasi dalam laporan dana kampanye.[4]

 Perlu kita ketahui bersama bahwa praktik korupsi politik bukanlah satu-satunya perbuatan yang diancam dengan pasal pidana oleh Undang-Undang Pemilu. Setidaknya ada 77 pasal pidana Pemilu. Pasal yang paling sering Bawaslu kutip dalam kegiatan kepengawasan adalah di Pasal 280 ayat (1) huruf a sampai huruf j. Pasal tentang politik uang dan penggunaan fasilitas negara hanya  salah satu diantaranya.[5] Banyaknya sanksi pidana yang menyasar berbagai subjek hukum pada Undang-Undang Pemilu ini tidak lepas dari kritik. Salah satu kritiknya adalah banyaknya sanksi pidana ini tidak berarti penerapannya  akan mudah dieksekusi di lapangan oleh pengawas Pemilu. Selain sukar dilaksanakan, sanksi pidana tersebut juga tidak efektif untuk menciptakan dan membangun suatu keadilan Pemilu.

Misal dalam pasal 492 yang subjek hukumnya setiap orang pada praktiknya sangat sulit dalam upaya pembuktian melakukan kampanye pemilu di luar jadwal karena istilah kampanye sendiri mesti berlaku secara kumulatif. Kemudian pasal   495 ayat (1) dan (2) di mana  subjek hukumnya adalah pelaksana kampanye dan/atau peserta kampanye, padahal maksud dari pasal tersebut adalah lahirnya suasana kondusif dalam pelaksanaan kampanye. Selanjutnya pasal 503,508, 512, dan  513 yang menyasar penyelenggara Pemilu adhoc dan tetap, tindakan dan kesalahan administratif masih sangat mungkin untuk diperbaiki oleh penyelenggara pada tingkat diatasnya. Setidaknya cukuplah diberikan sanksi administratif yang diatur dalam Peraturan Bawaslu No.8 Tahun 2018.[6] Sanksi dalam Perbawaslu ini menurut penulis lebih memberikan efek jera bagi pelanggarnya, misal bagi peserta Pemilu yang terbukti melakukan pelanggaran administratif dapat diberi sanksi tidak dapat diikutkan pada tahapan  tertentu. Contoh konkret Calon Legislatif X dilarang mengikuti tahapan kampanye rapat umum karena terbukti melakukan kampanye di luar jadwal. Selanjutnya bagi penyelenggara Pemilu adhoc yang terbukti melanggar, dapat diberi sanksi berupa teguran tertulis dan melakukan perbaikan administrasi yang tidak sesuai regulasi.

Efek pemidanaan bagi penyelenggara Pemilu adhoc ini sangat serius, karena di lapangan dengan adanya sanksi-sanksi pidana bagi penyelenggara Pemilu memberikan tekanan psikologis tersendiri. Padahal para penyelenggara Pemilu adhoc ini  telah mendedikasikan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk terselenggara dan suksesnya Pemilu 2019. Menurut alam pemikiran penulis, memang dalam penyelenggaraan Pemilu serentak diperlukan penyelenggara-penyelenggara yang mempunyai kapasitas berupa kompetensi teknis dan pemahaman akan regulasi. Namun, pada kenyataannya dalam penyelenggaraan Pemilu regulasi-regulasi teknis tidak dibuat di awal  secara keseluruhan namun turun secara berangsur-angsur, sehingga penyelenggara Pemilu di tingkat adhoc ini perlu membaca perubahan-perubahan regulasi yang tidak sedikit. Kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi penyelenggara Pemilu adhoc pun tidak mudah, hanya mereka yang terpanggil hatinya untuk berbakti pada negara lah yang mendaftar menjadi penyelenggara Pemilu adhoc baik di kepengawasan maupun pelaksana. Adalah tugas penyelenggara di level atas untuk memberikan pembinaan teknis terus-menerus dan memastikan setiap penyelenggara adhoc memiliki kompetensi yang sama dan pemahaman yang sama atas regulasi yang ada.

Di sisi lain,  penulis mengapresiasi semangat pembentuk undang-undang Pemilu dalam hal ini eksekutif dan legislatif. Terutama terkait perbuatan korupsi Pemilu yang terdiri dari 3 (tiga) elemen yaitu politik transaksional, penggunaan fasilitas negara, dan manipulasi dana kampanye. Menurut Lukman Edy, politik uang ini sangat sulit untuk dihindari bukan berarti tidak mungkin untuk dihindari, oleh karena itu Mahkamah Agung menilai politik uang merupakan kejahatan besar dan harus dihukum berat minimal 5 tahun.[7] Pada kenyataannya regulasi  Pemilu yang disahkan pada 15 Agustus 2017 ini memberikan sanksi pidana penjara paling lama 2 tahun penjara saja. Penerapan sanksi pidana bagi pelaku politik uang akan sangat efektif diterapkan di lapangan jika beberapa prasyarat dipenuhi yakni adanya sanksi administratif bagi peserta pemilu yang tidak mendaftarkan pelaksana kampanye dan tim kampanyenya ke KPU, adanya penjelasan mengenai definisi kampanye yang tidak multitafsir, serta adanya perubahan regulasi terkait pelapor yang dimungkinkan identitasnya tidak diungkap (anonim) sebagai mana dalam UU Tindak Pidana Korupsi, serta perlindungan  bagi saksi fakta, dan terakhir penguatan di Sentragakkumdu yang terdiri atas jaksa, penyidik dan pengawas Pemilu. Alternatif lain perlu dipikirkan dalam proses menurunkan praktik politik uang di tingkat lokal, salah satunya adalah membuka ruang regulasi berupa memberikan sanksi administratif kepada pelanggar berupa larangan mengikuti tahapan tertentu dalam Pemilu dengan membayar sejumlah denda pada negara, serta dapat memberikan penguatan kewenangan pada Bawaslu di tingkat Kabupaten/Kota  untuk mendiskualifikasi peserta Pemilu dalam sidang pemeriksaan. Hal ini menurut penulis akan memberikan efek jera bagi peserta Pemilu. Karena substansi mereka melakukan pelanggaran adalah ingin merebut hati pemilih tanpa mengedepankan program tapi dengan uang. Namun untuk pelaku korupsi Pemilu dengan skala masif yang dilakukan secara sistemik dan terstruktur maka penulis tetap berpendapat pasal pidana dapat diterapkan sebagai ultimum remedium, yakni upaya terakhir dalam penegakan hukum setelah upaya pencegahan, pengawasan dan administrasi ditempuh.

[1] https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20190926084711-142-434142/meme-lucu-morata-main-delapan-menit-dan-kena-kartu-merah diakses 26 September 2019 pukul 16:33 wib

[2] Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 93 s.d 96

[3] Bawaslu Kota Cimahi.2019.Laporan Komprehensif Hasil Pengawasan Pemilu 2019.Cimahi. hlm 175 dan 184.

[4] Irawan,Ade dkk.2014. Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu. ICW:Jakarta.Hlm 8.

[5] UU No.7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat (1) huruf h dan huruf j.

[6] Perbawaslu No.8 Tahun 2018 Tentang Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilu Pasal 36 . Sanksi terhadap terlapor/pelaku Pelanggaran Administratif Pemilu adalah: a. Perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. teguran tertulis; c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan Pemilu; dan/atau d. Sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai Pemilu

[7] Edy, Lukman.2017. Konsolidasi Demokrasi Indonesia.(Original Intent Undang-Undang Pemilu).RMBOOKS:Jakarta.hlm 213.

*) Komisioner Bawaslu Kota Cimahi

Tag
PUBLIKASI