Lompat ke isi utama

Berita

Bawaslu Ajak Pemuka Agama Gotong Royong Awasi Hasutan Kebencian Jelang Pemilu 2024

Jakarta, Badan Pengawas Pemilu- Bawaslu mengajak para pemuka agama gotong-royong mengawasi dan mencegah terjadinya hasutan kebencian dan berita bohong jelang Pemilu 2024 mendatang. Anggota Bawaslu Totok Hariyono mengatakan Bawaslu membutuhkan bantuan dari berbagai komponen masyarakat agar pemilu bebas dari hasutan kebencian, hoaks, dan lainnya. Gotong royong pengawasan dan pencegahan pemilu tersebut, kata dia, demi terciptanya Pemilu  2024 yang lebih sehat, terpercaya, dan legitimatif. "Upaya pencegahan tidak dapat terlaksana dengan maksimal jika gotong rotongnya tidak maksimal atau masih kurang," kata dia saat memantik diskusi dengan tema Urgensi dan Strategi Melawan Hasutan Kebencian dan Berita Bohong Menjelang Pemilu 2024 yang diselenggarakan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina dan Mafindo di Jakarta, Kamis (19/1/2023). Totok menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 280 ayat (1) huruf C telah mengatur larangan bagi pelaksana, peserta dan tim sukses dalam berkampanye diantaranya terkait dengan hasutan dan ujaran kebencian. Bunyinya yakni setiap pelaksana, peserta dan tim sukses dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain. Pada huruf d memuat larangan menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat dan pada huruf e mengatur larangan kampanye yang mengganggu ketertiban umum. Pelanggaran terhadap Pasal 280 ayat (1) huruf c, d dan e tersebut akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 521 UU Pemilu. "Berkaitan dengan hasutan dan ujaran kebencian ini ada sanksi pidananya," ujarnya. Dalam kesempatan itu juga, Totok menegaskan pemilu merupakan alat untuk mencari  pemimpin bangsa yang berkarakter dan berpikiran negarawan. "Jangan sampai ada pemilu, lalu panas-panasan, pelintir-pelintiran. Jangan sampai itu terjadi, karena demokrasi bukan alat pemecah belah bangsa," jelasnya. Diskusi yang diadakan Pusad Paramadina dan Mafindo itu dihadiri dari berbagai majelis agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Muslimat NU, Muhammadiyah, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Penulis: Robi Ardianto Editor: Rama Agusta
Tag
PUBLIKASI